dok. Arteria Dahlan ist/ Polisi terlihat begitu cepat merespon kasus Edy Mulyadi, sementara kasus Arteria Dahlan terkesan belum ditangani, (01/2).
Jakarta - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menilai, aparat kepolisian terkesan memperlakukan Kasus Edy Mulyadi dan Arteria Dahlan berbeda. Padahal kasus mereka sama-sama diduga melakukan ujaran kebencian bernada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Perbedaan itu terlihat dari respon kepolisian terhadap dua kasus tersebut. Polisi terlihat begitu cepat merespon kasus Edy Mulyadi, sementara kasus Arteria Dahlan terkesan belum ditangani," ujar Jamiluddin kepada Republika di Jakarta, Selasa (1/2/2022).
Padahal, kata Jamiluddin, laporan masyarakat tentang kasus Arteria Dahlan lebih dahulu masuk ke polisi daripada kasus Edy Mulyadi. Di lain pihak, sambung dia, respon masyarakat terhadap dua kasus itu relatif sama. Warga Jawa Barat, khususnya suku Sunda bergelombang memprotes pernyataan Arteria Dahlan, seperti halnya protes warga Kalimantan terhadap pernyataan Edy Mulyadi.
"Jadi, demi tegaknya hukum, sepatutnya kasus Arteria Dahlan juga segera diproses polisi. Dengan begitu, masyarakat tidak melihat adanya perlakukan hukum yang berbeda terhadap setiap warga negara," ucap Jamiluddin.
Dia menduga lambatnya penanganan kasus Arteria Dahlan diduga karena yang bersangkutan merupakan anggota DPR dari partai penguasa. Untuk memeriksa anggota DPR, sambung dia, memang membutuhkan izin presiden. Kalau memang itu yang menjadi penyebabnya, idealnya polisi menyampaikannya ke masyarakat agar dapat dipahami lambatnya penanganan proses hukum kasus Arteria Dahlan.
"Masalahnya, apakah polisi memang sudah mengajukan permohonan ke Presiden untuk memproses kasus Arteria Dahlan? Untuk itu, polisi perlu terbuka ke masyarakat agar tidak muncul penilaian liar yang merugikan lembaga kepolisian," ucap Jamiluddin. (dw/*)