Satu diantara kelebihan dan keampuhan Bung Karno adalah memiliki cakrawala spiritual yang luas. Yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kejiwaan, rohaniah dan batiniah yang tajam, (24/8).
Jakarta - Dalam versi Roso Daras, seorang pemerhati budaya spiritual dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan olah batin. Yaitu kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan hal-hal gaib. Sehingga dalam hidup dan kehidupannya, selalu erat terkait dengan tata cara ibadah, menurut agama dan keyakinan yang dipercayanya dalam melakoni hidup dan kehidupan di dinia.
Maka itu do'a dan wirit misalnya bisa disebut sebagai langkah awal menapak jalan dengan laku spiritual. Meski hanya dengan modal do'a atau wirit itu, bukan tidak dapat melakukan pengembaraan yang jauh untuk mencari dan masuk dalam alam spiritual yang daksyat dan mengasyikkan. Pengembaraan spiritual itu yang yang terpenting menurut Eko Sriyanto Galgendu yang sudah menekuni laku spiritual ini sejak bermulim di kota kelahirannya, Solo Jawa Tengah, adalah bagaimana mencercap nilai-nilai spiritual yang paling sederhana sekalipun -- seperti do'a atau wirit tadi -- agar dapat dihayati dengan serius dan mendalam serta nikmat -- layak komunikasi yang langsung dan mesra bersama Tuhan Yang Maha Kuasa atas jagat raya dan segenap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
Penuturan pengalaman seorang sastrawan dan budayawan besar Indonesia seperti WS. Rendra, justru semakin yakin adanya Tuhan itu yang merasa dihantar oleh pemahaman keagamaannya yang berbasis Katholik hingga berhijarah menjadi Muslim yang kaffah.
Alasan Rendra yang kemudian mengubah namanya dari WS itu menjadi Wahyu Sulaiman Rendra, karena dia justru menemukan rasa kebebasan dalam Islam seperti yang boleh melakukan dialoh meminta pertolong melalui do'a yang dis ucapkan sendiri tanpa harus melalui perantara. Seniman besar Indonesia yang semula bernama Willy Brodus Surendra itu, memamahj do'a tak hanya sebatas permintaan bebas kepada Tuhan. Bagi Dia, do'a itu merupakan eksprsi kebebasan yanv memberi hak pada individu bisa berhungan langsung dengan Tuhan, yaitu Allab SWT. Karena lewat do'a, setiap orang memiliki hak kebebasan untuk dapat melakukan langsung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan dalam versi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), enaknya dalam Islam itu, setiap orang bisa menumpahkan kemarahannya pada Tuhan, misalnya seperti bertanya dalam nada yang keras; Tuhan, janganlah Engkau turunkan bencana kepada kami tidak sanggub menghadapinya tanpa Kau. Jadi ekspresi kemesraan seseorang pun bisa diwujudkan dengan menyebut "Kau" dan "Aku" seperti tiada berjarak itu.
Dalam dialog yang sudah dapat dikatakan masuk dalam wilayah sufi ini, sapaan terhadap Tuhan pun begitulah adanya. Bahkan bagi orang banyak yang belum dapat memasuki wilayah sufi ini, acap mengartikan manunggaling kawulo lan gusti dalam terminologi Jawa itu, acap dianggap mempersekutukan Tuhan. Padahal sesungguhnya itu ekspresi semata dari keberadaan orang yang bersangkutan itu demikian dekat dengan Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Esa, seperti yang tegas disebut menjadi sila pertama Pancasila -- falsafah bangsa dan ideologi negara kita. Hanya saja sejak mulai dipasang menjadi bagian dari simbol negara, Pancasila tetap tergantung lusuh menjadi penghias dinding perkantoran saja.
Jadi laku sufi atau laku spiritual itu adalah upaya bagi setiap orang yang berhasrat untuk mendekat kepada Tuhan. Artinya, tidak soal agama apa saja yang menjadi keyakinan yang hendak melakukan laku spiritual itu, karena nilai-nilai yang bersifat illahiyah sudah lebih dari cukup untuk menuntun yang bersangkutan itu, asalkan apa yang hendak dilakukan oleh yang bersangkutan tak menyimpang dari Kitabbulah yang diturunkan dari langit.
Dalam sosok Bung Karno, sangat mungkin dia memang memiliki "kesakten" seperti yang sudah sering dibicaraksn bantak orang tentang kemampuan dan keampuhannya dalam dimensi spiritual. Seperti peristiwa Cikini yang tidak sampai mencederai dirinya itu, terkesan ajaib, bagaimana mungkin granat yang dilemparkan pada dirinya itu, bisa luput dari mara bagaya yang amat sangat mengerikan. Atau dalam peristiwa lain yang sungguh menakjubkan semasa hidupnya Bung Karno pada masa menjalank pembuangan ke berbagai tempat yang mengerikan, hingga menjadi kisah yang terus berkembang sampai sekarang.
Karenanya, bagi yang berminat melakukan kajian ikhwal dari laku spiritual Bung Karno dari perspektif Islam,
buku yang menghimpun “Surat-surat Islam dari Ende”, atau buku Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam yang disusun oleh Solichin Salam (1964) bisa menjadi rujukan. Begitu juga dari catatan-catatan saat menjalani pembuangan Bung Karno bersama sejumlah tokoh lainnya di Ende (1934 – 1938), Putra Sang Fajar ini pun melakukan kajian tentang Islam dengan sangat mendalam. Yang penting dalam laku spiritual, perlu kehati-hatian agar tidak sampat tersesat di jalan terang. Begitulah pesan ringan yang dianggap penting oleh Eko Sriyanto Galgendu, selaku penggerak kebangkitan kesadaran spiritual dalam siklus tujuh abad babak ketiga pada abad 21 sekaran ini merupakan momentum yang patut dipahamk untuk disadari sebagai peluang untuk menjawab ragam masalah yang bersumber dari kerjntuhan dan keambrukan moral, etika dan mental bangsa Indonesia untuk bangkit dengan segenap potensi yang dkmiliki oleh bangsa Indonesia memimpin dunia dalam semua bidang serta segenap aspek kehidupan di bumi. Karenanya, semua harus dimulai dari diri sendiri, bangsa Indonesia sendiri dan dari negeri kita sendiri.
Kebangkitan kesadaran spiritual bangsa Indonesia, jelas dapat menjadi penuntun untuk segera keluar dari kungkungan perilaku buruk korupsi, munafik, tidak jujur, sikap khianat untuk bisa segera dapat menemukan jalan yang terang, hingga bangsa Indonesia tidak cuma menjadi tauladan serta pelopor segenap warga bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi panutan dan rujukan sekaligus pemimpin bangsa-bangsa di dunia. Karena sungguh tidak sedikit warga bangsa Indobesia yang memiliki kemampusn untuk mengamalkan hakikat dari pemahaman makna rachmatan lil alamin sebagai ujud kasih dan sayang Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dan laku spiritual yang ideal diakukan demi dan untuk keselamatan umat manusia dan alam semesta. Dan bangsa Indonesia telah memulai untuk melakukan.
(bnt)