Presiden Joko Widodo saat telpon Kapolri, (Dokumen istimewa)
"Pelakunya ada semacam kolaborasi atau kerjasama antara kelompok-kelompok preman dengan oknum-oknum aparat berseragam maupun kelompok masyarakat bukan aparat tapi berseragam".
Jakarta - Praktek pungutan liar (pungli) di pelabuhan Tanjung Priok hingga sepanjang perjalanan menuju pabrik atau jalur distribusi di daerah-daerah sudah berlangsung belasan bahkan puluhan tahun. Pelaku, menurut anggota Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Daniel Bastian Tanjung, tak cuma melibatkan para preman dan "Pak Ogah".
"Pelakunya ada semacam kolaborasi atau kerjasama antara kelompok-kelompok preman dengan oknum-oknum aparat berseragam maupun kelompok masyarakat bukan aparat tapi berseragam," kata Daniel kepada Tim Blak-blakan detikcom, Minggu (13/6/2021).
Khusus di titik putaran yang biasa dijaga "Pak Ogah" di kawasan Tanjung Priok, dia melanjutkan, pengemudi mobil pribadi cukup memberi Rp 1000 atau melambaikan tangan bila tak memberi. Tapi bila hal itu dilakukan oleh para sopir truk kontainer, para Pak Ogah itu akan bertindak anarkistis dengan melempari batu.
"Kalau pak ogah kepada mobil pribadi mungkin diam saja kalau dikasih tangan saja (tidak membayar). Tapi kalau mobil kontainer bisa disambitin batu. Jangankan preman dewasa, di Priok itu anak-anak di bawah umur pun ada yang berani naik ke truk dan mengambil uang di dashboard mobil," beber Daniel.
Isu pungli kepada para sopir truk yang beroperasi di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan sudah disampaikan langsung oleh para sopir saat berdialog dengan Presiden Joko Widodo, Selasa (8/6/2021). Saat itu Presiden langsung menghubungi Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk melakukan penertiban. Sehari kemudian puluhan preman dan oknum pekerja outsourcing waktu di lingkungan pelabuhan ditangkap.
Daniel Bastian Tanjung mengaku sudah terjun di usaha transportasi ini sejak awal 2000-an. Dari pengamatan dan laporan para sopir di lapangan, Daniel menghitung ada sekitar 40 titik pungli dari Priok hingga pelabuhan Belawan di Medan. Titik pungli yang pasti antara lain di pelabuhan penyeberangan, jembatan timbang, perempatan jalan, serta batas wilayah kota/kabupaten dan provinsi. Total pengeluaran ekstra yang harus disiapkan bisa mencapai Rp 700 ribu.
"Jadi yang dirugikan bukan kami sebagai pengusaha angkutan maupun para sopir tapi customer dan ujungnya masyarakat karena harga barang jadi semakin tinggi," ujar Daniel.
Sepanjang wawancara berlangsung selama 30 menitan, Daniel Bastian Tanjung terlihat sangat hati-hati berbicara. Dia seperti tertekan sehingga berusaha memilih kata-kata dan menyusun kalimat yang tak menyinggung para pihak terkait. Sepertinya dia khawatir bila bicara lepas justru akan menjadi bumerang bagi bisnis dan para sopir di lapangan. (*)