Jakarta (MI)- Mahkamah Agung atau MA pada 27 Februari 2020 telah mengeluarkan putusan yang berisi membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Lalu bagaimana nasib premi yang sudah disetor para peserta BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020 lalu?
Tak hanya peserta mandiri, bahkan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung melalui APBN, Kementerian Keuangan telah mengucurkan dana untuk melakukan pembayaran di depan.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Mohamad Subuh menyebutkan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menyikapi kondisi ini.
“Hal ini harus dibahas dengan Kementerian Keuangan, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dana tersebut,” kata Subuh, Senin, 9 Maret 2020.
Pernyataan Subuh menanggapi keputusan MA menerima dan mengabulkan sebagian dari judicial review yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Gugatan ini dilayangkan pada akhir 2019 karena keberatan dengan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen.
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah Undang-undang. "Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Senin, 9 Maret 2020.
Lewat putusan ini, MA menganulir iuran BPJS Kesehatan yang sudah diterapkan sejak 1 Januari 2020 melalui Perpres tersebut. Sebelumnya beleid itu mengatur seluruh segmen peserta mengalami kenaikan iuran.
Pertama, iuran peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas 3 akan meningkat menjadi Rp 42.000, dari sebelumnya Rp 25.500. Iuran peserta atau mandiri Kelas 2 akan meningkat menjadi Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Lalu, iuran peserta Kelas 1 akan naik menjadi Rp 160.000 dari sebelumnya sebesar Rp 80.000.