Jakarta (MI)- Untuk kedua kalinya Akhlis Suryapati wartawan senior ini terjun sebagai sutradara. Pertama Lari Dari Blora dan yang kedua Enak Tho Zamanku. Film yang dibintang utamai Dolly Martin dan Ismi Melinda bakal beredar 12 April lalu.
Dalam penayangan perdana khusus awak media, secara judul sudah beken. Semua itu lantaran sudah menjadi viral, lantaran sebuah ungkapan kalangan tertentu yang menganggap kalau rezim Orba lebih enak.
Namun ketika penulis menyaksikan film berdurasi 90 menit, yang diproduseri QDemank Sonny Pudjisasono, via bendera Midessa Pictures, itu memberikan banyak pesan moral namun dibungkus secara rapi.
Bahkan pesan yang dimunculkan lewat sejumlah tokohnya dapat dikatakan terlalu lebay, dan berulang ulang. Akhlis Suryapati, selaku penulis skenario dan sutradara seperti ingin berkotbah, tentang segala hal, via sejumlah pelakonnya.
Dari permasalahan pencarian jati diri, ke Esaan Tuhan, sampai ranah politik "dikuliahi" semua.
Ini kisah tentang pemuda Darmo Gandul, yang menolak mewarisi kekayaan keluarga, untuk mengelola bisnis keluarga, yaitu hotel. Dan lebih memilih pergi bertualang, untuk mencari jati dirinya, menjadi pokok utama cerita.
Sebelum akhirnya entah karena sudah merasa menemukan kediriannya, atau kepayahan menguber diri sendiri, toh ia memilih balik kandang. Yang pada saat bersamaan, bisnis ayahnya sedang goyah. Lantaran ayahnya sekarat dan di tubir jurang kematian, akibat hendak dibinasakan lawan politiknya.
Sebagai anak soleh yang seenaknya sendiri, syahdan Darmo Gandul dengan keketusan, dan gaya pencak ala pendekar itu, membongkar konspirasi jahat yang hendak meluluh lantakkan bisnis keluarganya.
Drama komplikasi yang seperti yang diungkapkan, Akhlis, diharapkan bisa mencerahkan masyarakat dalam menyikapi kekuasaan, tanpa tendensi mengagungkan zaman tertentu, itulah yang disajikan di film ini.
Selaku produser Soewarno Pudjisasono menuturkan, film ini bisa mendapatkan tanggal tayang dari emperium bisnis kelompok atau jaringan 21 saja, sudah sebuah keajaiban.
"Bayangkan, kami berkawan baik dengan sejumlah nama penting pengelola 21 saja, masih sempat ditolak untuk ditayangkan film di jaringan bioskop mereka, apalagi kalau yang bukan siapa-siapa," katanya seusai preview film itu di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail Jakarta.
Alasan dari jaringan 21 yang sangat subyektif dari tim kurator mereka, sempat membuat film yang dibintangi Ismi Melinda, Panji Addiemas, Ratu Erina, Eko Xamba, dan Ananda George, Soultan Saladin, Dolly Marten, Otig Pakis, Yurike Prastika, dan Riza Pahlawan, itu sempat terkatung-katung.
Walau Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF) telah dikantongi. Selaras dengan UU Perfilman, seharusnya sebuah film yang telah mendapatkan STLS bisa ditayangkan oleh pemilik bioskop.
"Tapi film ini sempat ditolak oleh tim kurator mereka. Berdasarkan peraturan legal formal dari mana kelompok 21 bisa mewakili nilai rasa masyarakat, sehingga mengambil alih cita rasa publik. Bukankah tugas itu sudah dilakukan LSF sebagaimana amanat UU. Biarkan masyarakat yang menentukan sebuah film ditonton atau tidak, bukan mereka," imbuh Sonny yang sempat melakukan perlawanan politik.
Akibat perlawan politiknya itu, Enak Tho Zamanku-Piye Kabare, akhirnya mendapatkan 20 layar dari jaringan 21 untuk tayang di seluruh Indonesia.
"Bayangkan, tadinya hanya mau dikasih 10 layar, saya nggak mau, akhirnya mereka kasih 20 layar. Plus sejumlah layar dari jaringan bioskop lainnya dari jaringan Cinemaxx, CGV Blitz dan bioskop mandiri. Jumlah total 52 layar," ujar Sonny.
Lantaran mangkel dan gerah dengan perlakuan jaringan 21 itupula, di bawah bendera Peran Serta Masyarakat Perfilman dia hendak menggelar kongres di Surabaya.
Yang menurut Sonny, akan melibatkan semua pemangku kepentingan perfilman di Indonesia, "Demi membenahi banyak yang keliru atas perlakuan pada film nasional oleh pemilik bioskop, " katanya. (Nia Kurniati)